Thursday, January 22, 2015

Koleksi Buku Third Reichku



Kesukaanku terhadap hal-hal yang berbau Third Reich berasal dari sebuah film seri lawas berjudul ”Combat” yang diputar di TVRI djaman doeloe waktu aku masih kecil. Dari situ, aku mulai mengoleksi mainan prajurit dan kendaraan tempur ala Jerman, baik yang plastik maupun metal. 

Suatu ketika, aku diajak ke TB Gunung Agung Kwitang, yang pada masa itu masih merupakan jawara toko buku di Indonesia. Di sanalah aku berkenalan dengan buku Third Reich pertamaku, sebuah seri komik sejarah Perang Dunia II karya Pierre Dupuis yang diterbitkan Sinar Harapan. Saat itu, toko tersebut menjualnya lengkap satu seri tetapi aku hanya dibelikan satu buku yang berjudul Perang Kilat: Guruh di atas Warsawa. Bukunya betul-betul menggetarkan bagi seorang bocah seperti diriku. Sayangnya, hingga kini aku belum bisa melengkapi koleksi buku tersebut, karena masih kekurangan dua judul, yaitu Korps Afrika dan Benteng Terbang.

Komik Perang Dunia II selanjutnya yang bisa kuperoleh adalah “Komando” terbitan Gramedia. Komik ini bercerita tentang petuangan seorang prajurit Komando Inggris bernama Mayor Dragon dan seorang gerilyawati Partisan yang cantik bernama Sparky, yang kadang kala direcoki oleh dua orang prajurit Komando Inggris lainnya, Mayor Dobbie yang menjengkelkan dan Letnan Flips McDermott yang pemabuk.  Tapi komik ini merupakan koleksi gabungan diriku dan adikku, karena saat itu aku lebih berkonsentrasi pada komik Tanguy dan Laverdure.

Lepas dari komik, aku kemudian beralih ke buku-buku lainnya tentang Reich Ketiga. Namun, saat aku masih SD hingga SMA, aku hanya sedikit menemukan buku-buku non fiksi Reich Ketiga dalam bahasa Indonesia di toko buku. Di antara buku yang kutemukan dan kuperoleh hanya beberapa judul dari seri Perang Dunia II Time-Life yang diterbitkan Tira Pustaka dan buku Hari-Hari Terakhir Hitler yang merupakan saduran dari bab terakhir buku The Rise and Fall of the Third Reich­-nya William Shirer. Satu-satunya buku buatan orang Indonesia tentang Third Reich yang berhasil kubeli adalah buku Hitler karya Endang Sunarko. Sayangnya, sekalipun ada banyak informasi di dalamnya, buku itu itu ditulis begitu amatir dan tidak memiliki alur cerita yang jelas. Hanya sekadar menempel informasi tanpa dicek dan cross-check mengenai ketepatannya. 

Buku Third Reich pertama yang kubeli dalam bahasa Inggris adalah Waffen-SS karya Keith Simpson dari seri Fighting Elites. Buku itu kutemukan di TB Gramedia Matraman pada saat aku duduk di kelas 1 SMA. Awalnya, ketika aku meminta untuk melihat buku tersebut, yang dikunci bersama-sama buku militer berbahasa Inggris lainnya dalam sebuah lemari kaca, pramuniaganya terlihat ragu. Sepertinya dia tidak percaya bocah ingusan seperti diriku akan sanggup membeli buku mahal seperti itu. Tapi aku bersikeras dan akhirnya dia membuka lemari kaca itu dan memberikan buku tersebut kepadaku. 

Buku pertama Waffen-SS milikku.
Kesan pertama, sungguh menggoda :D
Ah, betapa senangnya saat aku melihat-lihat buku tersebut. Dan saat aku melihat label harganya, agak terkejut juga: Rp24.000. Jumlah itu setara dengan sekitar Rp200.000-an sekarang, jika melihat kurs dolar yang waktu itu masih sekitar Rp1.300 per dolar. Sebuah jumlah yang kelihatan mustahil dikeluarkan seorang anak bau kencur dan culun untuk sebuah buku. Untungnya, aku baru saja diberi uang jajan cukup banyak oleh ayahku. Jadi, aku pun dengan sedikit songong tapi sumringah meminta kepada si pramuniaga untuk membungkuskan buku itu kepadaku.

Pilihanku atas buku Waffen-SS ternyata tidak salah. Bertahun-tahun kemudian, aku banyak menggunakan buku tersebut sebagai acuan dasar untuk membuat sejumlah buku tentang Waffen-SS yang diterbitkan oleh Nilia Pustaka, Gaco Books, dan PT Elex Media Komputindo. Dan tema Waffen-SS juga menjadi salah satu tema favorit dari bacaan-bacaanku.

Masa SMA juga adalah masa di mana aku mulai mengoleksi buku-buku Third Reich berbahasa Inggris. Karena buku-buku tersebut di toko buku Gramedia dan Time-Life Jakarta jarang dijual dan kalaupun ada amat mahal, aku memulai hobiku untuk nongkrong di toko loak, sementara teman-temanku biasanya menghabiskan waktu di mal. Tempat favoritku adalah Terminal Senen dan tikungan Kwitang, yang kukunjungi setiap kali celengan bulananku ditebok. Panen pertama yang kutuai dari kunjunganku ke sana adalah buku Charles Whiting, Hunters from the Sky. Pada mulanya, karena bentuk pocket book-nya, aku mengira buku tersebut adalah sebuah novel. Apalagi tidak ada foto di dalamnya. Namun saat membolak-balik halamannya, sepertinya ini buku sejarah. Kubilang sepertinya karena saat itu bahasa Inggrisku amburadul. Sekalipun omaku guru bahasa Inggris yang cakap dan mampu mendidik banyak muridnya hingga bisa berbahasa Inggris, nilai bahasa Inggrisku tidak pernah melebihi angka kursi mati, alias “4”! 

Akhirnya, meskipun tidak tahu apa-apa tentang bahasa Inggris, aku memutuskan untuk membeli buku yang kemudian kuketahui membahas tentang pasukan payung Jerman dalam Perang Dunia II. Adapun harga yang harus kutukar untuk buku itu sebenarnya cukup mahal, Rp2.000. Angka itu nyaris setara dengan buku-buku normal pada zaman itu yang dijual rata-rata Rp2.400. Tapi jauh lebih murah daripada harus membeli buku-buku pocket book di Gramedia atau Time-Life Book di Sudirman yang paling murah seharga Rp17.000 di masa itu.
Dengan kekecualian dua buku lagi, salah satunya Panzer Commander karya Hans von Luck, yang kubeli di Gramedia Matraman, aku mulai meraup banyak buku tentang Third Reich di Kwitang dan Senen semasa SMA-ku. Di antaranya beberapa judul dari seri Perang Dunia II Time-Life yang berbahasa Inggris. Namun kebanyakan adalah buku-buku pocket book

Hobiku semakin meningkat tatkala aku mulai kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang FBUI). Di kampusku, setiap awal semester diadakan pameran buku murah dengan mendatangkan para penjual loakan. Biasanya, aku mengunjungi pasar buku kaget itu yang diadakan di fakultasku dan fakultas FISIP yang hanya sepelemparan batu letaknya dari FSUI. Aku betah nongkrong seharian di lapak-lapak tersebut untuk membongkar tumpukan buku yang sering kali disusun amburadul dan bersilat lidah dengan para pedagang untuk memperoleh harga yang murah. Banyak di antara buku yang kudapat adalah versi hardcover dan langka. 

Kadang kala, aku harus bertarung dengan rekan mahasiswa dan bahkan dosenku untuk memperebutkan buku favorit. Beberapa kali, aku kalah dalam persaingan itu. Biasanya, terkait kendala duit yang kurang. Kali lainnya adalah karena terlambat datang sehingga barangnya sudah terjual atau sedang dalam proses nego saat aku tiba di TKP. Contohnya adalah buku Kursk dari seri perang Ballantine Book yang diperoleh kawanku. Lainnya, adalah saat aku telat mendatangi si pedagang sehingga aku hanya mendapatkan sisa-sisa majalah The Second World War, sementara kebanyakan, termasuk bagian-bagian terserunya, telah diborong oleh sainganku. 

Lepas dari kampus, tempatku berburu buku Third Reich bertambah, yaitu di mal Pasar Festival di Kuningan. Ini tidak terlepas dari lokasi kantor pertamaku yang terletak di kawasan itu. Di sana, aku terutama mengoleksi buku-buku seri perang Ballantine Books. Lokasi loak lainnya yang potensial kukunjungi adalah di Blok M, alun-alun Bandung, Jatinegara, Kampung Melayu dan Tebet.

Namun, lama kelamaan, buku-buku tema ini semakin mahal, bahkan di kios buku bekas sekalipun. Sebagai contoh, buku-buku jenis pocket book kini dijual kisaran Rp 40 ribuan ke atas sedangkan yang hardcover sudah mencapai ratusan ribu. Dengan harga sebesar itu, aku harus mulai selektif untuk membeli buku-buku bertema Third Reich ini. Kini aku melihatnya dari segi apakah bahasannya cukup menarik untuk dijadikan uang lagi, alias menjadi bahan tulisan bagi artikel atau bukuku. Namun, memang kadang kala aku tertimpa duren runtuh: beberapa waktu lalu, aku menemukan sebuah toko di Blok M yang menjual puluhan buku perang Ballantine Book maupun Time-Life dengan harga antara seperlima hingga setengah harga yang lazim di pasaran untuk kedua jenis buku itu. Langsung aja kuborong semua buku itu.

Sayangnya, buku-buku Third Reich yang menarik minatku nyaris tidak kutemukan di pasar loak ataupun toko buku seperti Gramedia maupun Kinokuniya. Untungnya, teknologi internet sudah maju saat ini sehingga aku bisa berbelanja online untuk buku yang memang kuingini. Tapi, aku pun harus selektif sekali karena kurs dan ongkos kirim membuat buku-buku tersebut menjadi mahal sekali. Salah satu siasat adalah menunggu kalau-kalau ada buku yang kumaksud terjual rendah. Ini terjadi dengan buku Alexander Dallin yang berjudul “German Rule in Russia”. Bertahun-tahun aku menunggu buku yang sempat nongkrong di daftar belanja dengan harga paling murah 600 dolar Amrik, belum termasuk ongkir yang biasanya lebih dari 20 dolar. Pada suatu ketika, aku menemukan sebuah toko yang menjualnya hanya 40 dolar, sudah termasuk ongkos kirim ke Indonesia. Langsung saja kusambar peluang besar itu.

Cara lainnya adalah dengan membeli secara borongan dari sebuah toko buku bekas untuk menghemat ongkos kirim. Biasanya, buku-buku yang dibeli dengan jenis ini memang buku yang murah dan umum (maksudnya di Amerika atau Inggris, bukan di Indonesia). Jadi, kalau dihitung secara satuan, buku-buku itu masih murah. Namun, ya harus banyak sabar dan teliti mencarinya.

Kini, aku memiliki sekitar 500-an judul buku koleksi Third Reich. Selain itu, mungkin ada seribuan lagi yang berbentuk buku elektronik. Memang tidak semuanya sudah kubaca. Banyak yang hanya sekilas atau bahkan belum pernah kusentuh. Mungkin sedikit demi sedikit harus kucicil, suatu kali nanti kalau waktu kerjaku tidak sepadat sekarang …. Entah kapan saat itu tiba ….