Kesukaanku terhadap
hal-hal yang berbau Third Reich berasal dari sebuah film seri lawas berjudul
”Combat” yang diputar di TVRI djaman
doeloe waktu aku masih kecil. Dari situ, aku mulai mengoleksi mainan
prajurit dan kendaraan tempur ala Jerman, baik yang plastik maupun metal.
Suatu ketika, aku diajak
ke TB Gunung Agung Kwitang, yang pada masa itu masih merupakan jawara toko buku
di Indonesia. Di sanalah aku berkenalan dengan buku Third Reich pertamaku,
sebuah seri komik sejarah Perang Dunia II karya Pierre Dupuis yang diterbitkan
Sinar Harapan. Saat itu, toko tersebut menjualnya lengkap satu seri tetapi aku
hanya dibelikan satu buku yang berjudul Perang
Kilat: Guruh di atas Warsawa. Bukunya betul-betul menggetarkan bagi seorang
bocah seperti diriku. Sayangnya, hingga kini aku belum bisa melengkapi koleksi
buku tersebut, karena masih kekurangan dua judul, yaitu Korps Afrika dan Benteng
Terbang.
Komik Perang Dunia II selanjutnya
yang bisa kuperoleh adalah “Komando” terbitan Gramedia. Komik ini bercerita
tentang petuangan seorang prajurit Komando Inggris bernama Mayor Dragon dan
seorang gerilyawati Partisan yang cantik bernama Sparky, yang kadang kala
direcoki oleh dua orang prajurit Komando Inggris lainnya, Mayor Dobbie yang menjengkelkan dan Letnan
Flips McDermott yang pemabuk.
Tapi komik ini merupakan koleksi
gabungan diriku dan adikku, karena saat itu aku lebih berkonsentrasi pada komik
Tanguy dan Laverdure.
Lepas dari komik, aku
kemudian beralih ke buku-buku lainnya tentang Reich Ketiga. Namun, saat aku
masih SD hingga SMA, aku hanya sedikit menemukan buku-buku non fiksi Reich
Ketiga dalam bahasa Indonesia di toko buku. Di antara buku yang kutemukan dan
kuperoleh hanya beberapa judul dari seri Perang Dunia II Time-Life yang
diterbitkan Tira Pustaka dan buku Hari-Hari
Terakhir Hitler yang merupakan saduran dari bab terakhir buku The Rise and Fall of the Third Reich-nya
William Shirer. Satu-satunya buku buatan orang Indonesia tentang Third Reich
yang berhasil kubeli adalah buku Hitler karya
Endang Sunarko. Sayangnya, sekalipun ada banyak informasi di dalamnya, buku itu
itu ditulis begitu amatir dan tidak memiliki alur cerita yang jelas. Hanya
sekadar menempel informasi tanpa dicek dan cross-check
mengenai ketepatannya.
Buku Third Reich pertama
yang kubeli dalam bahasa Inggris adalah Waffen-SS
karya Keith Simpson dari seri Fighting
Elites. Buku itu kutemukan di TB Gramedia Matraman pada saat aku duduk di kelas
1 SMA. Awalnya, ketika aku meminta untuk melihat buku tersebut, yang dikunci
bersama-sama buku militer berbahasa Inggris lainnya dalam sebuah lemari kaca,
pramuniaganya terlihat ragu. Sepertinya dia tidak percaya bocah ingusan seperti
diriku akan sanggup membeli buku mahal seperti itu. Tapi aku bersikeras dan
akhirnya dia membuka lemari kaca itu dan memberikan buku tersebut kepadaku.
Ah, betapa senangnya saat
aku melihat-lihat buku tersebut. Dan saat aku melihat label harganya, agak
terkejut juga: Rp24.000. Jumlah itu setara dengan sekitar Rp200.000-an sekarang,
jika melihat kurs dolar yang waktu itu masih sekitar Rp1.300 per dolar. Sebuah
jumlah yang kelihatan mustahil dikeluarkan seorang anak bau kencur dan culun untuk
sebuah buku. Untungnya, aku baru saja diberi uang jajan cukup banyak oleh
ayahku. Jadi, aku pun dengan sedikit songong
tapi sumringah meminta kepada si
pramuniaga untuk membungkuskan buku itu kepadaku.
Pilihanku atas buku Waffen-SS ternyata tidak salah.
Bertahun-tahun kemudian, aku banyak menggunakan buku tersebut sebagai acuan
dasar untuk membuat sejumlah buku tentang Waffen-SS yang diterbitkan oleh Nilia
Pustaka, Gaco Books, dan PT Elex Media Komputindo. Dan tema Waffen-SS juga
menjadi salah satu tema favorit dari bacaan-bacaanku.
Masa SMA juga adalah masa
di mana aku mulai mengoleksi buku-buku Third Reich berbahasa Inggris. Karena
buku-buku tersebut di toko buku Gramedia dan Time-Life Jakarta jarang dijual
dan kalaupun ada amat mahal, aku memulai hobiku untuk nongkrong di toko loak, sementara teman-temanku biasanya
menghabiskan waktu di mal. Tempat favoritku adalah Terminal Senen dan tikungan
Kwitang, yang kukunjungi setiap kali celengan bulananku ditebok. Panen pertama
yang kutuai dari kunjunganku ke sana adalah buku Charles Whiting, Hunters from the Sky. Pada mulanya,
karena bentuk pocket book-nya, aku
mengira buku tersebut adalah sebuah novel. Apalagi tidak ada foto di dalamnya.
Namun saat membolak-balik halamannya, sepertinya ini buku sejarah. Kubilang sepertinya karena saat itu bahasa
Inggrisku amburadul. Sekalipun omaku guru bahasa Inggris yang cakap dan mampu
mendidik banyak muridnya hingga bisa berbahasa Inggris, nilai bahasa Inggrisku
tidak pernah melebihi angka kursi mati, alias “4”!
Akhirnya, meskipun tidak
tahu apa-apa tentang bahasa Inggris, aku memutuskan untuk membeli buku yang
kemudian kuketahui membahas tentang pasukan payung Jerman dalam Perang Dunia
II. Adapun harga yang harus kutukar untuk buku itu sebenarnya cukup mahal, Rp2.000.
Angka itu nyaris setara dengan buku-buku normal pada zaman itu yang dijual
rata-rata Rp2.400. Tapi jauh lebih murah daripada harus membeli buku-buku pocket book di Gramedia atau Time-Life
Book di Sudirman yang paling murah seharga Rp17.000 di masa itu.
Dengan kekecualian dua
buku lagi, salah satunya Panzer Commander
karya Hans von Luck, yang kubeli di Gramedia Matraman, aku mulai meraup
banyak buku tentang Third Reich di Kwitang dan Senen semasa SMA-ku. Di
antaranya beberapa judul dari seri Perang Dunia II Time-Life yang berbahasa
Inggris. Namun kebanyakan adalah buku-buku pocket
book.
Hobiku semakin meningkat
tatkala aku mulai kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang FBUI).
Di kampusku, setiap awal semester diadakan pameran buku murah dengan
mendatangkan para penjual loakan. Biasanya, aku mengunjungi pasar buku kaget
itu yang diadakan di fakultasku dan fakultas FISIP yang hanya sepelemparan batu
letaknya dari FSUI. Aku betah nongkrong seharian di lapak-lapak tersebut untuk
membongkar tumpukan buku yang sering kali disusun amburadul dan bersilat lidah
dengan para pedagang untuk memperoleh harga yang murah. Banyak di antara buku
yang kudapat adalah versi hardcover dan langka.
Kadang kala, aku harus
bertarung dengan rekan mahasiswa dan bahkan dosenku untuk memperebutkan buku
favorit. Beberapa kali, aku kalah dalam persaingan itu. Biasanya, terkait
kendala duit yang kurang. Kali lainnya adalah karena terlambat datang sehingga
barangnya sudah terjual atau sedang dalam proses nego saat aku tiba di TKP.
Contohnya adalah buku Kursk dari seri
perang Ballantine Book yang diperoleh kawanku. Lainnya, adalah saat aku telat
mendatangi si pedagang sehingga aku hanya mendapatkan sisa-sisa majalah The Second World War, sementara
kebanyakan, termasuk bagian-bagian terserunya, telah diborong oleh sainganku.
Lepas dari kampus,
tempatku berburu buku Third Reich bertambah, yaitu di mal Pasar Festival di
Kuningan. Ini tidak terlepas dari lokasi kantor pertamaku yang terletak di
kawasan itu. Di sana, aku terutama mengoleksi buku-buku seri perang Ballantine
Books. Lokasi loak lainnya yang potensial kukunjungi adalah di Blok M,
alun-alun Bandung, Jatinegara, Kampung Melayu dan Tebet.
Namun, lama kelamaan,
buku-buku tema ini semakin mahal, bahkan di kios buku bekas sekalipun. Sebagai
contoh, buku-buku jenis pocket book
kini dijual kisaran Rp 40 ribuan ke atas sedangkan yang hardcover sudah
mencapai ratusan ribu. Dengan harga sebesar itu, aku harus mulai selektif untuk
membeli buku-buku bertema Third Reich ini. Kini aku melihatnya dari segi apakah
bahasannya cukup menarik untuk dijadikan uang lagi, alias menjadi bahan tulisan
bagi artikel atau bukuku. Namun, memang kadang kala aku tertimpa duren runtuh:
beberapa waktu lalu, aku menemukan sebuah toko di Blok M yang menjual puluhan
buku perang Ballantine Book maupun Time-Life dengan harga antara seperlima
hingga setengah harga yang lazim di pasaran untuk kedua jenis buku itu.
Langsung aja kuborong semua buku itu.
Sayangnya, buku-buku
Third Reich yang menarik minatku nyaris tidak kutemukan di pasar loak ataupun
toko buku seperti Gramedia maupun Kinokuniya. Untungnya, teknologi internet
sudah maju saat ini sehingga aku bisa berbelanja online untuk buku yang memang
kuingini. Tapi, aku pun harus selektif sekali karena kurs dan ongkos kirim
membuat buku-buku tersebut menjadi mahal sekali. Salah satu siasat adalah
menunggu kalau-kalau ada buku yang kumaksud terjual rendah. Ini terjadi dengan
buku Alexander Dallin yang berjudul “German Rule in Russia”. Bertahun-tahun aku
menunggu buku yang sempat nongkrong
di daftar belanja dengan harga paling murah 600 dolar Amrik, belum termasuk
ongkir yang biasanya lebih dari 20 dolar. Pada suatu ketika, aku menemukan
sebuah toko yang menjualnya hanya 40 dolar, sudah termasuk ongkos kirim ke
Indonesia. Langsung saja kusambar peluang besar itu.
Cara lainnya adalah
dengan membeli secara borongan dari sebuah toko buku bekas untuk menghemat
ongkos kirim. Biasanya, buku-buku yang dibeli dengan jenis ini memang buku yang
murah dan umum (maksudnya di Amerika atau Inggris, bukan di Indonesia). Jadi,
kalau dihitung secara satuan, buku-buku itu masih murah. Namun, ya harus banyak
sabar dan teliti mencarinya.
Kini, aku memiliki
sekitar 500-an judul buku koleksi Third Reich. Selain itu, mungkin ada seribuan
lagi yang berbentuk buku elektronik. Memang tidak semuanya sudah kubaca. Banyak
yang hanya sekilas atau bahkan belum pernah kusentuh. Mungkin sedikit demi
sedikit harus kucicil, suatu kali nanti kalau waktu kerjaku tidak sepadat
sekarang …. Entah kapan saat itu tiba ….